Minggu, 12 Juni 2011

Kebijakan Struktur Modal

1 STRUKTUR MODAL

 

PENDAHULUAN

Modal (pembelanjaan dari luar perusahaan) dikelompokkan dalam dua jenis,

yakni: hutang dan ekuitas (= modal sendiri). Hutang mempunyai keunggulan berupa

(Brigham and Gapenski, 1997: 767-768): 1) bunga mengurangi pajak sehingga biaya

hutang rendah, 2) kreditur memperoleh return terbatas sehingga pemegang saham

tidak perlu berbagi keuntungan ketika kondisi bisnis sedang maju, 3) kreditur tidak

memiliki hak suara sehingga pemegang saham dapat mengendalikan perusahaan

dengan penyertaan dana yang kecil. Meskipun demikian, hutang juga mempunyai

kelemahan, yaitu: 1) hutang biasanya berjangka waktu tertentu untuk dilunasi tepat

waktu, 2) rasio hutang yang tinggi akan meningkatkan risiko yang selanjutnya akan

meningkatkan biaya modal, 3) bila perusahaan dalam kondisi sulit dan labanya tidak

dapat memenuhi beban bunga maka tidak tertutup kemungkinan dilakukan tindakan

likuidasi.

Bauran hutang dan ekuitas untuk pendanaan perusahaan merupakan bahasan

utama dari keputusan struktur modal (= capital structure decision). Bauran modal

yang efisien dapat menekan biaya modal (= cost of capital), yang dapat

meningkatkan kembalian ekonomi neto dan meningkatkan nilai perusahaan.

Perusahaan yang hanya menggunakan ekuitas disebut “unlevered firm”, sedangkan

yang menggunakan bauran ekuitas dan berbagai macam hutang disebut “levered

firm”.

 

 

 

 

 

 

 

Pemilihan alternatif penambahan modal yang berasal dari kreditur (hutang)

pada umumnya didasarkan pada pertimbangan: murah. Dikatakan murah, karena

biaya bunga yang harus ditanggung lebih kecil dari laba yang diperoleh dari

pemanfaatan hutang tersebut. Sesuai dengan EBIT-EPS Analysis (Gitman, 1994:

465-468); bila biaya bunga hutang murah, perusahaan akan lebih beruntung

menggunakan sumber modal berupa hutang yang lebih banyak, karena

menghasilkan laba per saham yang makin banyak. Sebagai gambaran mengenai

EBIT-EPS Analysis dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

 

Gambar 2: CONTOH EBIT-EPS ANALYSIS

 

Contoh tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan hutang yang makin

banyak, yang dicerminkan oleh debt ratio (rasio antara hutang dengan total aktiva)

yang makin besar, pada perolehan laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) yang sama

akan menghasilkan laba per saham (EPS) yang lebih besar. Gambaran semacam ini

yang banyak diacu oleh perusahaan-perusahaan dalam memenuhi kebutuhan

modalnya.

 

 

3

 

TEORI-TEORI STRUKTUR MODAL

Kecenderungan perusahaan yang makin banyak menggunakan hutang, tanpa

disadari secara berangsur-angsur, akan menimbulkan kewajiban yang makin berat

bagi perusahaan saat harus melunasi (membayar kembali) hutang tersebut. Tidak

jarang perusahaan-perusahaan yang akhirnya tidak mampu memenuhi kewajiban

tersebut, dan bahkan dinyatakan pailit. Hingga kini belum ada rumus matematik

yang tepat untuk menentukan jumlah optimal dari hutang dan ekuitas dalam struktur

modal (Seitz,1984: 301). Pedoman umum hanyalah: mencari hutang sebanyak

mungkin tanpa meningkatkan risiko atau menurunkan fleksibilitas perusahaan.

Franco Modigliani dan Merton Miller adalah bapak dari teori struktur modal

(Groth and Anderson, 1997). Pada tahun 1958, dalam American Economic Review

48 (1958, June) yang berjudul The Cost of Capital, Corporate Finance, and the

Theory of Investment, mereka mengemukakan teori struktur modal dengan berbagai

asumsi yang tidak mungkin terjadi, akan tetapi sangat membantu dalam memahami

bagaimana perusahaan menentukan bauran pendanaan yang berasal dari hutang dan

ekuitas secara benar (Siaw, 1999). Asumsi-asumsi yang mendasari adalah

(Megginson, 1997:316):

a. Semua aktiva berujud dimiliki oleh perusahaan.

b. Pasar modal sempurna (tidak ada pajak, tidak ada biaya transaksi, dan tidak ada

biaya kebangkrutan).

c. Perusahaan hanya dapat menerbitkan dua macam sekuritas, yakni ekuitas yang

berisiko dan hutang bebas (tanpa) risiko.

d. Individu maupun perusahaan dapat meminjam atau meminjamkan uang dengan

tingkat suku bunga bebas risiko.

e. Para investor mempunyai ekspektasi yang sama (homogen) terhadap keuntungan

perusahaan di masa mendatang.

f. Semua perusahaan tidak mengalami pertumbuhan (arus kas diasumsikan konstan

dan perpetual, dan semua laba dibagikan dalam bentuk dividen).

g. Semua perusahaan dapat dikelompokkan dalam satu kelompok kembalian, dan

kembalian saham dari semua perusahaan dalam kelompok tersebut adalah

proporsional.

 

 

4

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka nilai perusahaan yang tidak

menggunakan hutang (unlevered firm) sama persis dengan perusahaan yang

menggunakan hutang (levered firm). Apabila nilai perusahaan yang tidak

menggunakan hutang diberi notasi VU dan nilai perusahaan yang menggunakan

hutang diberi notasi VL, maka VU = VL.

 

Sumber: Siaw, 1999

Keterangan:

EBIT = Laba sebelum bunga dan pajak

r

S,U  = Kembalian (return) saham unlevered firm

SU = Nilai saham unlevered firm

r

D  = Suku bunga hutang

DL = Nilai hutang levered firm

r

S,L  = Kembalian (return) saham levered firm

SL = Nilai saham levered firm

 

Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dan laba diperkirakan konstan untuk

jangka waktu yang tidak terbatas. Jadi, saham biasa dianggap sama seperti saham

preferen. Nilai intrinsic saham preferen (VP)dapat ditentukan dengan cara:

 

Sumber: Siaw, 1999

Keterangan:

SP = Nilai saham preferen

D  = Dividen

r  = Kembalian (return)

 

Model tersebut dikenal sebagai model MM Proposisi 1 tanpa pajak. Proposisi

tersebut mengakui bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh strategi

pendanaan. Dengan kata lain, nilai perusahaan bergantung pada bagaimana bisnis itu

dijalankan dan tidak pada bagaimana uang itu diperoleh.

 

 

5

Ketika nilai unlevered firm sama persis dengan levered firm, menurut model

MM (tanpa pajak), biaya modal rata-rata tertimbang (WACC = weighted average

cost of capital) kedua perusahaan juga identik. Hal ini mengarahkan pada Proposisi

2 dari model MM tanpa pajak:

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Apa yang disampaikan oleh Proposisi 2 dari model MM tanpa pajak? Untuk

mengetahui apa yang disampaikan, perlu dilihat dahulu apa pengaruh perubahan

keputusan pendanaan terhadap perilaku pemegang saham. Penambahan penggunaan

hutang biasanya diikuti dengan bertambahnya beban keuangan berupa biaya bunga.

Sesuai dengan Proposisi 1, perubahan keputusan pendanaan (struktur modal) tidak

akan mempengaruhi nilai perusahaan. Dengan kata lain, pemegang saham

dihadapkan pada peningkatan risiko keuangan tanpa kompensasi dari meningkatnya

nilai perusahaan. Jadi, pemegang saham akan menuntut kembalian (= return) yang

lebih tinggi sebagai kompensasi dari meningkatnya risiko, dan hal ini disebut biaya

penggunaan saham biasa yang lebih tinggi bagi levered firm. Pernyataan tersebut

dapat dijabarkan dalam bentuk persamaan berikut:

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Pada umumnya biaya hutang lebih murah daripada biaya saham biasa,

sehingga perusahaan memperoleh “penghematan” ketika perusahaan mengalihkan

pendanaan ekuitas ke pendanaan hutang. Mengacu pada Proposisi 1 bahwa WACC

unlevered firm dan levered firm adalah identik, maka “penghematan” dari

penggunaan hutang tercermin pada peningkatan biaya saham biasa (tersaji pada

Gambar 3).

 

 

6

 

Sumber: Brigham, and Ehrhardt, 2005:590

 

Gambar 3:

BIAYA MODAL dan NILAI PERUSAHAAN MENURUT MODEL MM-1 (1958)

 

Dari model MM-1 (model MM tanpa pajak) yang dikemukakan oleh Franco

Modigliani dan Merton Miller, dapat dipetik dua hal utama yaitu:

1. Dalam situasi tanpa pajak, nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur

modal. Jadi, nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh jumlah hutang, sehingga

WACC juga tidak dipengaruhi oleh struktur modal.

2. Kecenderungan perusahaan yang makin banyak menggunakan hutang akan lebih

berisiko, sebab harus membayar biaya bunga yang lebih banyak pula.

Perusahaan tidak dapat mengabaikan pembayaran biaya bunga, sehingga

pemegang saham “menuntut” kembalian yang lebih tinggi yang tercermin pada

biaya ekuitas yang lebih tinggi. Dalam kondisi demikian, perusahaan

memperoleh “penghematan” yang makin banyak dengan menggunakan hutang

yang lebih banyak karena lebih murah daripada ekuitas. Meskipun demikian,

biaya ekuitas akan meningkat selaras dengan penambahan hutang.

“Penghematan” yang dihasilkan dari penggunaan hutang otomatis akan

meningkatkan biaya ekuitas, sehingga WACC tidak berubah.

Para akademisi dan praktisi mengembangkan sejumlah teori, dan teori-teori

tersebut bersifat subyektif sesuai dengan kondisi empirik saat dilakukannya

pengujian. Secara umum, teori-teori struktur modal dikelompokkan menjadi dua

kategori, yakni: teori-teori trade-off, dan teori-teori yang didasarkan pada perilaku

manajemen. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori struktur modal yang

 

 

7

diawali dengan pengembangan model MM-1 yang dilakukan oleh Modigliani dan

Miller pada tahun 1963.

1. Teori-teori Trade-off

1.1. Modigliani-Miller Model 2 (MM Model with corporate taxes)

Pada tahun 1963, Modigliani dan Miller mempublikasikan sebuah artikel

dalam American Economic Review 53 (1963, June) yang berjudul Corporate Income

Taxes an the Cost of Capital: A Correction, untuk memperbaiki model awal mereka

dengan memperhitungkan adanya pajak perseroan (akan tetapi tetap mengabaikan

pajak perorangan). Untuk selanjutnya model tersebut dikenal dengan sebutan model

MM-2 atau model MM dengan pajak perseroan (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588-

592). Kehadiran pajak perseroan (diberi notasi tc)mempengaruhi kedua proposisi

awal pada model MM-1 sebagai berikut:

Proposisi 1:

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Sebagai alasan bahwa nilai unlevered firm (VU) berubah adalah kebutuhan

perusahaan untuk membayar pajak perseroan atas laba yang diperoleh sebelum

membayarkan dividen kepada pemegang saham.

Proposisi 2:

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Proposisi 1 dan 2 dari model MM dengan pajak perseroan dapat disajikan

dalam bentuk grafik berikut ini (tersaji pada Gambar 4):

 

 

8

 

Sumber: Brigham, and Ehrhardt, 2005:590

 

Gambar 4:

BIAYA MODAL dan NILAI PERUSAHAAN MENURUT MODEL MM-2 (1963)

 

Dari model MM-2, dapat dipetik dua hal utama yang berbeda dengan model

MM-1 sebelumnya adalah:

1. Dalam Proposisi 1, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam

kenyataan, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai

perusahaan: bertambahnya penggunaan hutang akan meningkatkan nilai

perusahaan. Dengan kata lain, pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang

berasal dari hutang, sebesar:

 

Manfaat pajak dari penggunaan hutang diperoleh dari beban biaya bunga hutang

yang dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang mengurangi besaran laba

kena pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak dapat diperhitungkan sebagai

elemen biaya. Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi dari pemerintah atas

penggunaan hutang untuk menambah modal.

2. Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan hutang

yakni: hutang merupakan sumber modal yang lebih murah daripada ekuitas, dan

biaya bunga menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui

bahwa penghematan dari penggunaan hutang yang lebih murah sepenuhnya

digantikan oleh peningkatan biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian,

dalam situasi dengan adanya pajak perseroan, keuntungan yang diperoleh

 

 

9

perusahaan dari penggunaan hutang lebih besar daripada peningkatan biaya

ekuitas. Dengan demikian, biaya ekuitas dari levered firm dalam situasi ada

pajak perseroan pertambahannya lebih lamban daripada bila situasinya tanpa

pajak perseroan. Dengan kata lain, pemegang saham memperoleh kompensasi

untuk risiko keuangan yang lebih kecil dalam situasi ada pajak perseroan.

“Penghematan” dari penggunaan hutang yang lebih besar daripada peningkatan

biaya ekuitas, menghasilkan WACC yang makin kecil seturut dengan

bertambahnya hutang.

1.2. Miller Model with Personal Taxes

Model MM-2 yang dipublikasikan tahun 1963 memperlihatkan situasi

perpajakan yang dihadapi perusahaan dengan lebih baik, akan tetapi belum

memperlihatkan situasi perpajakan yang dihadapi oleh para investor. Pada tahun

1977, dalam Journal of Finance volume 32 nomor 2 tahun 1977 dengan judul Debt

and Taxes, Miller mengemukakan sebuah model yang memperhitungkan pajak

perorangan (Ogden, Jen, and O’Connor, 2003:172). Dalam model tersebut, investor

dihadapkan pada dua kemungkinan jenis pajak: pajak perorangan atas ekuitas atau

pendapatan dividen (tS), dan pajak perorangan atas hutang atau pendapatan bunga

(tD).

Bagaimana pengaruh pajak perorangan terhadap nilai unlevered firm maupun

levered firm yang memperhitungkan pajak perseroan? Dalam model MM-2, dividen

yang diperoleh pemegang saham sebesar:

 

Akan tetapi, dengan adanya pajak perorangan, dividen yang diperoleh pemegang

saham menjadi:

 

Dengan demikian, terjadi pajak ganda atas pendapatan ekuitas (dividen) yang

diterima oleh investor. Laba perusahaan dikenai pajak perseroan sebelum dibagikan

menjadi dividen kepada investor, dan selanjutnya ketika investor memperoleh

dividen, dikenai pajak perorangan. Jadi, nilai unlevered firm yang memperhitungkan

pajak perseroan dan pajak perorangan adalah:

 

 

10

 

Sumber: Brigham, and Ehrhardt, 2005:592

 

Untuk levered firm, sebelum mengetahui berapa nilainya, perlu diketahui

dahulu arus kas yang ada. Ada dua kategori arus kas, yaitu:

a. Arus kas untuk pemegang saham:

b. Arus kas untuk kreditur:

Jadi, arus kas total dari levered firm dapat dihitung dengan cara berikut:

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Penentuan nilai levered firm dilakukan dengan cara mendiskontokan arus kas

seperti pada unlevered firm dengan biaya ekuitas unlevered firm, ditambah

pendiskontoan arus kas yang terkait dengan pendapatan bunga (bagi kreditur)

dengan biaya hutang setelah pajak, menjadi persamaan berikut:

 

Sumber: Siaw, 1999, dan Brigham, and Ehrhardt, 2005:593

 

 

1.3. Kritik terhadap Model Modigliani-Miller (MM) dan Miller

Kritik terhadap model MM dan Miller berkaitan dengan relevansi dari asumsi-

asumsi yang digunakan dalam model. Beberapa kritik terhadap model-model

tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut (Siaw, 1999, dan Brigham, and

 

 

11

Ehrhardt, 2005:595-597):

1. Proposisi model didasarkan pada konsep arbitrase dengan asumsi bahwa beban

keuangan perusahaan kondisinya sama persis dengan beban keuangan yang

dialami oleh investor secara individu. Asumsi ini benar, bila arbitrase personal

tanpa risiko, karena investor bertanggungjawab atas investasi awal dan

peminjaman dana (hutang) yang ditentukan untuk dirinya sendiri.

2. Asumsi bahwa tidak ada biaya transaksi adalah tidak benar dalam berbagai

situasi, khususnya untuk investor dalam menentukan struktur modal individual

secara bersama-sama.

3. Asumsi bahwa perorangan maupun perusahaan dapat meminjam uang dengan

tingkat suku bunga yang sama adalah tidak benar, karena seringkali suku bunga

bagi perusahaan lebih rendah daripada perorangan.

4. Model tersebut tidak memperhitungkan adanya perbedaan struktur pajak yang

(mungkin) dihadapi oleh perusahaan berkaitan dengan hasil penjualan dan

perolehan laba. Dengan kata lain, pajak perseroan yang ditanggung perusahaan

dapat berubah seturut dengan perubahan laba yang diperoleh, dan tentunya akan

berpengaruh terhadap manfaat pajak yang diperoleh.

5. Dalam model MM dan Miller, manfaat pajak (dari pengurangan pajak perseroan

atas biaya bunga) meningkat seturut dengan peningkatan jumlah hutang. Hal ini

didasarkan pada asumsi bahwa biaya hutang tidak berubah dan perusahaan dapat

menggunakan pembayaran biaya bunga untuk mengurangi pajak dengan

persentase yang sama. Keadaan semacam itu tidak benar, sebab:

a. Perusahaan tidak dapat 100% didanai dengan hutang. Kreditur biasanya

menginginkan perusahaan menanamkan sejumlah uang terlebih dahulu.

Sebagai contoh adalah kredit mobil; pihak penjual pada umumnya meminta

sejumlah uang muka.

b. Direktorat Pajak memandang bahwa hutang 100% merupakan cara

perusahaan untuk memperoleh pengurangan pajak. Dalam hal ini, Direktorat

Pajak menentukan batas maksimum hutang yang dianggap layak bagi suatu

perusahaan, sehingga jumlah hutang yang melampaui batas tersebut akan

diperhitungkan sebagai ekuitas.

Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, dalam kenyataan, WACC perusahaan

 

 

12

akan meningkat dan nilai perusahaan akan menurun setelah mencapai titik

tertentu, seperti terlihat pada Gambar 5 berikut ini.

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Gambar 5: BIAYA MODEL dan NILAI PERUSAHAAN (dalam kenyataan)

 

Dari Gambar 5 tersebut, terlihat ada kombinasi hutang dan ekuitas tertentu yang

menghasilkan biaya modal minimum dan nilai perusahaan maksimum. Salah

satu perhatian utama dari manajer keuangan adalah menentukan struktur modal

optimal yang akan meminimumkan biaya modal dan memaksimumkan nilai

perusahaan.

 

1.4. Biaya Beban Keuangan dan Biaya Keagenan

Setelah model MM dan Miller, muncul model-model lain yang

memperhitungkan biaya-biaya yang ditanggung perusahaan dan dapat

mempengaruhi struktur modalnya. Ada dua jenis biaya yang ditanggung perusahaan

atas penggunaan hutang, yaitu biaya beban keuangan dan biaya keagenan (Siaw,

1999, dan Megginson,1997:323-338).

1. Biaya Beban Keuangan

Perusahaan memang dapat menikmati bertambahnya penghematan pajak yang

diperoleh dari bertambahnya hutang, akan tetapi pendanaan yang berasal dari

hutang juga dapat meningkatkan kemungkinan perusahaan mengalami

kebangkrutan karena bertambahnya beban bunga. Perusahaan bisa

menangguhkan (mengabaikan) pembayaran dividen, tetapi pembayaran bunga

 

 

13

tetap harus dipenuhi tepat waktu dan jumlahnya. Kegagalan perusahaan untuk

memenuhi kewajiban pembayaran bunga disebabkan oleh kas yang dimiliki

tidak cukup dan dapat mengakibatkan perusahaan menanggung beban keuangan,

dan wujud beban keuangan yang paling berat adalah kebangkrutan.

Biaya beban keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua: biaya beban keuangan

langsung dan biaya beban keuangan tidak langsung.

a. Biaya beban keuangan langsung

Biaya beban keuangan langsung yang ditanggung perusahaan adalah

biaya pengesahan secara hukum (legal) dan biaya administrasi yang

berkaitan dengan kebangkrutan atau reorganisasi.

b. Biaya beban keuangan tidak langsung

Biaya ini biasanya bersifat implisit yang ditanggung oleh perusahaan

dalam situasi yang sangat berat (tetapi tidak bangkrut), antara lain: biaya

modal lebih tinggi, penurunan penjualan dan hilangnya kepercayaan

pelanggan, manajer dan pekerja melakukan tindakan-tindakan drastis

(mengurangi kapasitas, menekan biaya secara drastis, atau menjual

aktiva) yang dapat menyusutkan nilai perusahaan, dan perusahaan tidak

dapat mempertahankan keberadaan manajer-manajer dan para pekerjanya

yang berkualitas.

2. Biaya Keagenan

Teori yang memperhitungkan biaya keagenan pertama kali dikemukakan oleh

Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976 yang

dipublikasikan dalam Journal of Financial Economics volume 3 nomor 4 pada

bulan Oktober 1976 dengan judul Theory of the Firm: Managerial Behaviour,

Agency Costs and Ownership Structure. Teori tersebut menegaskan bahwa

struktur keuangan dipengaruhi oleh insentif dan perilaku dari pembuat keputusan

(pihak manajemen). Jensen dan Meckling mengemukakan adanya dua potensi

konflik, yaitu konflik antara pemegang saham dengan kreditur, dan konflik

antara pemegang saham dengan pihak manajemen.

a. Konflik antara Pemegang Saham dengan Kreditur

Kreditur menerima uang dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga

hutang), sedangkan pendapatan pemegang saham bergantung pada

 

 

14

besaran laba perusahaan. Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan

kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutangnya, dan

pemegang saham lebih memperhatikan kemampuan perusahaan dalam

meraih laba yang banyak. Cara perusahaan untuk memperoleh kembalian

yang besar adalah melakukan investasi pada proyek-proyek yang

berisiko. Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil, kreditur

tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapi bila proyek

mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugian akibat

dari ketidak-mampuan pemegang saham memenuhi kewajibannya.

Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, kreditur mengenakan biaya keagenan

hutang (debt agency cost), dalam bentuk pembatasan penggunaan hutang oleh

manajer. Salah satu pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan hutang

untuk investasi dalam proyek baru (seperti capital rationing).

b. Konflik antara Pemegang Saham dengan Pihak Manajemen

Pihak manajemen tidak selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan

pemegang saham, tetapi agak mengarah kepada kepentingan dirinya

sendiri. Akibatnya, pemegang saham menanggung biaya keagenan

ekuitas (equity agency cost) untuk memantau kegiatan pihak manajemen.

Salah satu biaya keagenan adalah kompensasi bagi akuntan publik untuk

mengaudit perusahaan.

Kedua macam biaya keagenan mempunyai sifat yang berlawanan. Tindakan

pihak manajemen mengarah pada pemenuhan kepentingan dirinya sendiri, bila

kepemilikannya atas perusahaan mengecil. Untuk mengatasi hal itu, kepemilikan

manajerial dapat ditingkatkan dengan cara mengubah sebagian ekuitas

perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham menjadi hutang. Tindakan

tersebut tentunya akan meningkatkan risiko kreditur karena perusahaan harus

menanggung beban biaya bunga yang lebih banyak, yang berarti, biaya keagenan

hutang meningkat. Gambar 6 berikut memperlihatkan bahwa pada bauran hutang

dan ekuitas tertentu akan meminimumkan total biaya keagenan.

 

 

15

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Gambar 6: BIAYA KEAGENAN

 

Ketika perusahaan menggunakan hutang dalam memenuhi kebutuhan

modalnya, dia menikmati manfaat pajak berupa penghematan pajak, tetapi juga

harus menanggung biaya beban keuangan dan biaya keagenan. Oleh sebab itu, nilai

levered firm dapat ditentukan sebagai berikut:

Nilai Perusahaan dengan Hutang = Nilai Perusahaan tanpa Hutang + Penghematan Pajak

– Biaya Beban Keuangan – Biaya Keagenan

Nilai perusahaan maksimum ketika struktur modal optimal tercapai karena pada saat

itu biaya modalnya paling rendah. Keadaan tersebut tercermin pada Gambar 7

berikut ini.

 

Sumber: Siaw, 1999

 

Gambar 7: STRUKTUR MODAL OPTIMAL

 

 

 

16

Gambar tersebut memperlihatkan nilai perusahaan pada berbagai level hutang.

Ketika perusahaan menerbitkan hutang, akan menikmati penghematan pajak., dan

nilai perusahaan meningkat seturut dengan peningkatan hutang karena penghematan

pajak bertambah. Meskipun demikian, peningkatan hutang yang dilakukan

perusahaan akan meningkatkan biaya beban keuangan dan biaya keagenan, yang

selanjutnya akan mengurangi nilai perusahaan secara keseluruhan. Bila manfaat

pajak, biaya beban keuangan dan biaya keagenan diperhitungkan secara bersama-

sama, manajer keuangan akan mendapatkan nilai levered firm (VL). Puncak garis VL

menunjukkan nilai levered firm maksimum, yang berarti WACC juga paling rendah.

 

2. Teori-teori Berdasarkan Perilaku Manajemen

Akhir-akhir ini banyak dilakukan pengembangan teori struktur modal yang

didasarkan pada model perilaku manajemen (Laurent, 2000). Meskipun demikian,

sampai saat ini masih banyak penelitian-penelitian yang mendasarkan pada ide dari

teori-teori trade-off yang memperhitungkan peningkatan komponen biaya terkait

dengan banyaknya hutang, untuk dihadapkan dengan penghematan pajak atas bunga

hutang. Teori-teori struktur modal yang didasarkan pada model perilaku manajemen,

antara lain: signaling effects theory, dan pecking order theory.

2.1. Signaling Effects

Teori ini  didasarkan pada premis bahwa manajer dan pemegang saham tidak

mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang

hanya diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi

tersebut. Jadi, ada informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara

manajer dan pemegang saham. Akibatnya, ketika struktur modal perusahaan

mengalami perubahan, hal itu dapat membawa informasi kepada pemegang saham

yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah. Dengan kata lain, terjadi

pertanda atau sinyal (signaling).

Stephen A. Ross pada tahun 1977 dalam Bell Journal of Economics volume 8

dengan judul The Determinants of Financial Structure: the Incentive Signaling

Approach, menyatakan bahwa ketika perusahaan menerbitkan hutang baru, menjadi

tanda atau sinyal bagi pemegang saham dan investor potensial tentang prospek

 

 

17

perusahaan di masa mendatang mengalami peningkatan (Megginson, 1997, 342).

Dasar pertimbangannya adalah: penambahan hutang berarti keterbatasan arus kas

dan biaya-biaya beban keuangan juga meningkat, dan manajer hanya akan

menerbitkan hutang baru yang lebih banyak bila mereka yakin perusahaan kelak

dapat memenuhi kewajibannya. Penelitian lain memperlihatkan bahwa penerbitan

saham baru akan menjurus pada tanggapan harga saham negatif, dan pembelian

kembali saham yang beredar akan menjurus pada tanggapan harga saham positif

(Siaw, 1999). Dasar pertimbangannya adalah: pemegang saham dan investor

potensial menganggap penerbitan saham baru merupakan cara manajer untuk

mengurangi kepemilikannya atas perusahaan yang peruntungannya jelek (bad

fortune), sedangkan pembelian kembali saham yang beredar dianggap sebagai cara

manajer untuk menikmati kepemilikannya yang besar atas perusahaan yang

peruntungannya bagus (good fortune).

2.2. Pecking Order Theory

Pada tahun 1984, Stewart C. Myers dalam Journal of Finance volume 39

dengan judul The Capital Structure Puzzle, menyatakan bahwa ada semacam tata

urutan (pecking order) bagi perusahaan dalam menggunakan modal (Ogden, Jen,

and O’Connor, 2003, 116). Teorinya menjelaskan bahwa perusahaan lebih

mengutamakan pendanaan ekuitas internal (menggunakan laba yang ditahan)

daripada pendanaan ekuitas eksternal (menerbitkan saham baru). Hal itu disebabkan

penggunaan laba yang ditahan lebih murah dan tidak perlu mengungkapkan

sejumlah informasi perusahaan (yang harus diungkapkan dalam prospektus saat

menerbitkan obligasi dan saham baru). Apabila perusahaan membutuhkan

pendanaan eksternal, pertama kali akan menerbitkan hutang sebelum menerbitkan

saham baru. Penerbitan saham baru menduduki urutan terakhir sebab penerbitan

saham baru merupakan tanda atau sinyal bagi pemegang saham dan calon investor

tentang kondisi perusahaan saat sekarang dan prospek mendatang yang tidak baik.

 

PENELITIAN-PENELITIAN TERDAHULU

Pada tahun 1998, Hayne E. Leland menemukan bahwa struktur modal optimal

mencerminkan penghematan pajak atas biaya bunga hutang dan biaya-biaya

 

 

18

keagenan. Biaya-biaya keagenan membatasi jumlah hutang dan jatuh tempo hutang,

dan meningkatkan hasil (yield), tetapi peranannya relatif kecil.

Pada tahun 1999, Lakshmi Shyam-Sunder dan Stewart C. Myers

mengemukakan bahwa model dasar pecking order yang memprediksi defisit

keuangan internal mendorong hutang, mampu menjelaskan dengan lebih baik

daripada model static trade-off yang memprediksi bahwa tiap perusahaan melakukan

penyesuaian secara bertahap untuk mencapai debt ratio optimal.

Sheridan Titman pada tahun 2002 mengemukakan tentang pasar modal yang

seringkali tidak terintegrasi, dan pengaruhnya terhadap strategi pendanaan. Kondisi

pasar modal yang ditentukan oleh institusi dan individu yang memasok modal, dapat

mempengaruhi perusahaan dalam mencari modal.

Ivo Welch pada tahun 2002 mengemukakan bahwa karena perusahaan-

perusahaan pada umumnya bersikap pasif, struktur modal perusahaan-perusahaan di

Amerika Serikat saat sekarang dapat dijelaskan dengan struktur modal periode

sebelumnya sebagai perantara untuk menentukan harga saham. Pembuatan

keputusan internal perusahaan dalam menentukan target debt ratio, seperti

meminimumkan pajak perseroan atau biaya kebangkrutan, secara empirik

mempunyai konsekuensi yang kecil.

Pada tahun 2003, Murray Z. Frank dan Vidhan K. Goyal menemukan adanya

39 faktor penting dalam pembuatan keputusan penggunaan hutang untuk

perusahaan-perusahaan publik di Amerika Serikat. Temuan tersebut konsisten

dengan pajak dan biaya kebangkrutan dalam teori trade-off. Faktor-faktor yang

paling reliabel adalah: median dari hutang (leverage) industri, risiko kebangkrutan

yang diukur dengan Z-Score dari Edward I. Altman, besaran perusahaan yang diukur

dengan log penjualan, pembayaran dividen, aktiva tidak berujud, market to book

ratio, dan agunan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Altman, Edward I., 1993, Corporate Financial Distress and Bankruptcy: A

Complete Guide to Predicting & Avoiding Distress and Profiting from

Bankruptcy, Second Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Brigham, Eugene F., and Louis C. Gapenski, 1997, Financial Management: Theory

and Practice, Eighth Edition, Orlando, Florida: The Dryden Press.

 

 

19

Brigham, Eugene F., and Michael C. Ehrhardt, 2005, Financial Management:

Theory and Practice, Eleventh Edition, South-Western, Australia: Thomson

Learning.

Frank, Murray Z., and Vidhan K. Goyal, 2003, Capital Structure Decisions, Working

paper, Faculty of Commerce, University of British Columbia, and Department

of Finance, Hong Kong University of Science and Technology, 1 – 55.

Gitman, Lawrence J., 1994, Principles of Managerial Finance, Seventh Edition,

New York: Harper Collins College Publishers.

Groth, John C., and Ronald C. Anderson, 1997, Capital Structure: Perspective for

Managers, Management Decision, 35/7, 552 – 561.

Jensen, Michael C., dan William H. Meckling, 1976, Theory of the Firm:

Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure, Journal of

Financial Economics, 3/4, 305 – 360.

Laurent, Sandra, 2000, Capital Structure Decision: The Use of Preference Shares

and Convertible Debt in the UK, Working paper, Bristol Business School,

University of the West of England, 1 – 39.

Leland, Hayne E., 1998, Agency Costs, Risk Management, and Capital Structure,

Working paper, Haas School of Business, University of California, Berkeley, 1

– 48.

Megginson, William L., 1997, Corporate Finance Theory, Massachusetts: Addison-

Wesley.

Miller, Merton H., 1977, Debt and Taxes, the Journal of Finance, 32/2, 261 – 275.

Modigliani, Franco, and Miller, Merton H., 1958, The Cost of Capital, Corporate

Finance, and the Theory of Investment, the American Economic Review, 48/3,

261 – 297.

Modigliani, Franco, and Miller, Merton H., 1963, The Cost of Capital, Corporate

Income Taxes and the Cost of Capital: A Correction, the American Economic

Review, 53/3, 433 – 443.

Myers, Stewart C., 1977, Determinants of Corporate Borrowing, Journal of

Financial Economics, 5/2, 147 – 175.

Myers, Stewart C., 1984, the Capital Structure Puzzle, the Journal of Finance, 39/3,

575 – 592.

Ogden, Joseph P., Frank C. Jen, Philip F. O’Connor, 2003, Advance Corporate

Finance, Policies and Strategies, Upper Saddle River, New Jersey: Prentice

Hall.

Ross, Stephen A, 1977, the Determination of Financial Structure: the Incentive-

Signaling Approach, the Bell Journal of Economics, 8/1, 23 – 40.

Seitz, Neil, 1984, Financial Analysis: A Programmed Approach, Third Edition,

Englewood Cliffs, New Jersey: A Reston Book Prentice-Hall, Inc.

 

 

20

Shyam-Sunder, Lakshmi, and Stewart C. Myers, 1999, Testing Static Tradeoff

Against Pecking Order Models of Capital Structure, Journal of Financial

Economics, 51/2, 219 – 244.

Siaw Peng Wan, 1999, Corporate Finance: Capital Structure Decision, Working

paper, University of Illinois at Urbana-Champaign, 1 – 28.

Titman, Sheridan, 2002, The Modigliani and Miller Theorem and the Integration of

financial Markets, Financial Management, 31/1, 101 – 115.

Welch, Ivo, 2002, Columbus’ Egg: Stock Returns are the Main Determinant of

Capital Structure Dynamics, Working paper, Yale University, 1 – 50.

 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

GOOBLOGOOBLOG © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu